Sabtu, 01 November 2008

cErPeN yG KuTuLis SenDirI UntUk MaMa...

IBUKU….!!!!!







Hembusan angin menerpa kuat, walaupun masih pagi. Udara yang menerpa penuh balutan asap dari setiap lubang kecil diujung knalpot dibawah ratusan kendaraan. Memang terasa menyumbat penciuman, tapi ibu tetap mengayuh…
Ya… sepeda yang memang tak terlalu tua itu yang menjadi sarana ibu untuk sampai ke kampus. Ditengah hiruk pikuk yang menyesakkan paru-paru dari udara yang masuk ke hidungnya, dalam hati ibu masih bisa bergumam bangga karena dia tak termasuk salah satu dari penyebab polusi udara ini. Memang kampus ibu tak jauh dari rumah. Sedikit menguntungkan buat kondisi tubuh ibu yang memang tidak muda lagi.
Mencoba beradaptasi!! Ibu dan kami bertiga sekarang berada di kota metropolitan sebagai pusat ibukota negara ini. Kota Jakarta!! Dan tanpa sanak saudara. Semangat ibu untuk terus belajar yang membawa kami sampai disini. Hidup berempat dalam rumah kontrakan yang pas-pasan. Meninggalkan ayah sendiri yang tak mungkin ikut karena tanggung jawab atas pekerjaannya.
Awalnya memang tak mudah. Terlalu banyak cobaan malah!!
Sekarang semuanya lebih baik, malah terlalu baik. Hanya setiap doa yang bisa membantu kami bertahan selama ini. Empat tahun. Mungkin tidak terlalu lama. Tapi berkat beasiswa yang sangat beruntung ibu dapatkan. Ibu nekat melanjutkan studinya ke S-3, melanggar perjanjian tugas belajarnya yang hanya sampai S-2 saja.
Itulah ibuku….
Seorang wanita yang semangatnya sama sekali tak kalah dengan semangat yang dimiliki kaum lelaki. Satu nasihat ibu padaku..”Kerjakan apa saja yang mungkin kamu kerjakan, jangan tunggu orang lain untuk diandalkan selagi kita merasa sanggup untuk mengerjakannya….”
Nasihat ini berlaku untuk pekerjaan berat yang mungkin menurut pandangan orang hanya kaum lelaki saja yang seharusnya mengerjakannya. Ya….tak akan kami takutkan dan pasti orang herankan, kami sering membantu ibu melakukan hal-hal yang berat. Misalnya membetulkan genting yang bocor, mengeruk sampah parit, membersihkan jalan dari Lumpur yang tebal karena hujan yang berkepanjangan, mengangkat barang-barang berat, dan lain sebagainya.
Tak ada yang mungkin tak bisa dilakukan oleh ibuku. Sampai menjahit baju sekolah dan pakaian seragam lainnya bahkan untuk busana lebaran kami, semua ibuku yang membuatnya. Kamu tak akan bisa membayangkan wanita seperti apa ibuku.
Dialah ibu terhebat untuk kami. Untuk anak-anaknya…
Itulah sebuah harga untuk mempertahankan hidup dan agar bisa berhasil di kota rantauan. Sebuah perjuangan yang memang terlalu besar. Kami berasal dari Pulau Sumatera. Ibu harus memboyong serta kami yang masih kecil-kecil untuk akhirnya memutuskan melanjutkan studinya meraih gelar master. Kebetulan ibu mendapat beasiswa untuk itu. Mengambil studi Bahasa Indonesia di salah satu Universitas Negeri di Jakarta.
Awalnya begitu berat. Selain ibu yang harus beradaptasi dengan komunitas yang sama sekali berbeda di kota metropolitan ini, ibu juga harus bisa menjaga kami sendirian tanpa terkontaminasi oleh pergaulan buruk. Semuanya ibu lakukan sendiri. Dari mulai mengajari kami mengaji, memilihkan sekolah yang harus dekat dengan rumah. Kalau bisa sekolah yang bisa ditempuh tanpa harus menyeberang jalan. Untunglah memang sekolah itu ada di dekat rumah kontrakan kami. Tidak itu saja, karena kondisi pra kepindahan kami yang serba kekurangan, ibu juga harus bertambah tugas mengurus kesehatan kami. Tanpa diduga memang. Kondisi kami bertiga dalam tahun pertama kepindahan sangat menurun drastis. Setelah diperiksa, kami bertiga divonis menderita paru-paru basah. Itu dikarenakan kondisi tempat tinggal kami yang memang sangat memungkinkan penyakit itu bisa menyerang kami. Akibatnya, secara total kami sekarang bisa sembuh dengan kegigihan ibu membawa kami berobat secara teratur ke rumah sakit selama hampir dua tahun penuh. Dalam vase ini pula aku dan adik-adikku dalam seminggu bisa terhitung jari masuk sekolah. Tapi itu bukanlah satu halangan. Walaupun terkenal jarang msuk sekolah karena harus ke rumah sakit, kami bertiga tidak ada yang tidak pintar. Perjuangan ibu yang lain yaitu selalu mengontrol semua perkembangan sekolah kami. Tidak hanya itu, beliau jugalah yang harus tetap menjaga keseimbangan spiritual kami. Dari mulai mengajari kami mengaji, mengotrol sholat lima waktu yang kami kerjakan sampai dengan nasihat yang sebagian besar diposisikan ibu sebagai aturan yang harus selalu kami ingat dan kami kerjakan. Semuanya beliau lakukan dengan kesabaran penuh.


Lalu kapan beliau belajar untuk pendidikannya sendiri..?! Itu memang harus dipertanyakan karena beliau tetap bisa lulus S2nya tepat waktu. Disaat kami bertiga sekolah, ibu masuk kuliah. Dan saat ibu untuk belajar mengulangi semua kuliahnya adalah disaat kami terlelap. Ya…memang benar. Ibu mengulangi semua pelajarannya lagi saat tengah malam, tanpa mengulur waktu bangun di subuh hari.
Kenapa aku bisa tau….?! Itu karena akulah yang sering menemani ibu belajar. Walaupun tidak sepenuhnya terjaga seperti ibu, tapi aku berusaha untuk menguatkan ibu untuk terus semangat.
Apa saja yang kulakukan?! Itulah kelebihan lain ibuku. Beliau selalu menghimbau untuk sering melakukan sholat malam. Ya, aku sering kali menemani ibu dengan melakukan beberapa rakaaat sholat malam. Biar saja sedikit yang penting selalu rutin dilakukan. Setelah itu aku juga menemani ibu belajar dengan mengulangi semua yang kupelarjari di sekolah. Selain itu bila aku memang merasa harus terlelap, aku akan terlelap di dekat ibu belajar. Ibu bilang, “walaupun aku tidur, tapi ibu akan merasa aku selalu menemaninya. Jadi ibu akan tetap semangat dan tidak akan takut belajar sendirian di ruang tamu malam-malam begini.”
Dan apa hasil dari setiap keinginanku untuk menemani ibu belajar. Aku tinggal minta saja pada Alloh berapa rangking yang ingin kuraih. Tapi ikhtiarku memang sedikit pantas untuk pintaku itu. Aku akui, pintaku memang tidaklah muluk-muluk. Di tengah-tengah teman-teman yang memang tidak bisa disepelekan otaknya, aku harus berjuang sedikit keras untuk bisa mempertahankan posisiku agar tidak terlalu jauh tertinggal dalam prestasi. Mungkin berkat doa ibu pulalah aku selalu bisa menempatkan diriku ditengah-tengah pergaulan yang memang tidaklah bisa dibilang aman untuk anak seusia aku. Aku akui, kota metropilitan yang hampir tidak memiliki ungkapan tabu dalam setiap perlakuan yang tidak ketimuran memang harus menguji kepatuhanku atas perintah ibu. Untunglah, semuanya berjalan seimbang walaupun di kota metropilitan. Teman yang baik juga bisa di dapat disini. Beruntunglah aku termasuk orang yang bisa menemukan teman yang baik disini.
Semuanya berjalan semakin baik. Walaupun memang terkenal lugu dengan satu-satunya murid yang memakai kerudung di seantaro sekolah, teman-teman tidak ada yang benar-benar pernah berniat jahat padaku. Aku pun jadi sedikit dikenal karena busanaku yang berbeda sendiri, siapapun namaku orang lain tidak perlu tau, yang pasti di sekolah mereka menyebutku “Bu Haji”. Aneh memang, sebutan ini diberikan karena banyak teman yang terkadang minta bantuanku saat perlu sedikit pengetahuan tentang agama atau bahkan bantuan saat ujian agama. Aku sangat disegani di kelas, selain mereka memang sangat perhatian dan sayang padaku. Setiap ada perilaku yang tidak baik pernah aku lakukan, mereka memperingatiku untuk tidak boleh melakukan itu lagi. Inilah aku, anak lugu yang kuper, tapi sangat di sayang.
Semuanya tidak luput dari didikan ibuku. Semua hal kecil yang terjadi padaku pasti didiskusikan ibu padaku saat kami berdua belajar tengah malam. Itu memang waktu untuk dialog yang sangat baik. Semuanya pasti kami bicarakan, ibu sudah bisa menganggap aku sebagai temannya. Masalah keluarga yang tidak bisa ditanggung ibu sendiri selalu dibagi denganku. Padahal waktu itu aku baru berusia 14 tahun. Tidak hanya tentang ibu, tentang diriku juga ibu tidak segan untuk mendiskusikannya. Juga disaat tanpa aku sadari, ibu tau saat itu aku sedang menyukai kakak kelasku.
Semuanya kami lalui dengan bahagia berkumpul bersama. Ayahku hanya bisa datang dua kali dalam setahun. Tapi kami sangat senang bila ayah berkumpul bersama kami. Dan sangking senangnya, dulu kami punya kebiasaan bila ayah sudah waktunya datang dan sampai dirumah, salah satu diantara kami pasti jatuh sakit demam. Dan obatnya memang kedatangan ayah. Kami langsung sembuh bila sudah dipangku oleh ayah.
Kami tumbuh menjadi anak-anak yang penurut. Meminta sesuatu yang memang orang tua sanggup untuk membelikan. Bila tidak diberi kami tidak akan kecewa. Semuanya selalu bisa diterima. Kami juga tumbuh menjadi anak-anak yang tidak banyak menuntut. Semua karena ajaran ibu, bahwa semua yang ada pada kita harus bisa disyukuri. Ibu akan menawarkan apa yang kami inginkan bila beliau punya sedikit rezeki. Itulah waktu kami untuk meminta.
Walaupun begitu bukan berarti kami termasuk orang yang kekurangan. Secara materi kami masih dibilang berkecukupan, hanya saja hidup sederhana sudah menjadi kebiasaan kami.
Untuk urusan keperluan sekolah ibu memang tidak kompromi dengan dana, berapapun kalau memang utuk sekolah pasti ibu penuhi. Ibu mengerahkan penuh usahanya untuk kebutuhan pendidikan kami.
X X X



Itulah ibuku. Dan begitulah kehidupan kami tujuh tahun yang lalu. Sekarang kami sudah pulang ke kampung halaman. Ibu berhasil memboyong gelar “Doktor”, dalam waktu hampir lima tahun. Tidak terlalu terlambat.
Kehidupan itu sedikit berbeda dengan sekarang. Semua perjuangan telah membuahkan hasil. Semuanya juga sedikit berubah. Kami bisa sedikit menikmati kemudahan. Tidak sesulit dulu.
Tapi ibuku tidak berubah. Perjuangannya masih harus dilanjutkan, dan ibuku masih tetap tangguh. Dialah ibuku yang dulu, dan sekarang masih tetap begitu.
Seorang ibu yang paling cantik yang pernah kami miliki.
Seorang ibu yang paling tangguh yang selalu melindungi kami.
Seorang ibu yang terbaik dalam mendidik anak-anaknya.
Seorang ibu yang hanya milik kami.
Dan yang terbaik yang pernah kami miliki.
(Hilmina F. Nst)

1 komentar:

uıɐznɹɐɯob mengatakan...

jadi rindu buaian ibu di kampung.....